Senin, 14 Maret 2011

PEMBAGIAN WILAYAH dan PENDUDUK MENURUT FUQAHA



                                                PEMBAHASAN

Pembagian Wilayah dan Penduduk Menurut Pendapat Fuqoha.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Harus diketahui bahwa wilayah (perwalian atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian/pemerintahan ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempuma kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga beliau SAW bersabda, ‘Jika ada tiga orang yang bepergian dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.” (Lihat Kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah)[1].



Berbicara masalah  Negara secara langsung maupun tidak kita telah membawa diri pada skop lapangan menyangkut organisasi terbesar yang menguasai beberapa wilayah dan mempunyai wewenang untuk mengatur masyarakatnya, tentu saja hal ini mempunyai proses yang telah dirumuskan. Dan diakui oleh dunia Internasional seperti yang dikatakan oleh Al-Mawardi, disamping wilayah, pemerintah, dan rakyat.

                        Dan Islampun mempunyai andil yang tidak kecil dalam pembentukan sistem ketatanegaraan sekarang, kenyataannya kita sudah mempunyai bekal yang diwariskan oleh Rasulullah, memang Al-Qur’an dan Hadits tidak banyak berbicara masalah ini, atau meninggalkan sistem yang baku, namun Islam telah meninggalkan asas-asas dasar yang bisa kita otak-atik sesuai masa dan kebutuhan masyarakat, mau diapakan dan di bawa kemana Negara itu adalah tanggung jawab bersama tentunya dengan persatuan dan dilegitimasi pemrintahan.

            Setelah pasca perang dunia pertama dan kedua timbullah Negara-negara yang ingin menjadikan Islam sebagai basis pemerintahan dengan pengadopsian hukum-hukum barat yang sebenarnya memakai asas Islam, alangkah malunya Islam tenggelam dalam dekapan negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam namun ditegakkan setinggi-setingginya di dunia barat, mereka mengklaim seolah-olah itu adalah pemikiran mereka.

                        Lalu klasifikasi ini menurut pemakalah sebenarnya tidak ada, karena Islam menurut pemakalah meningkatkan asas dasar yang Universal dan tidak statis, semua bersatu dalam eksistensi nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam semua tatanan kehidupan, yang diklasifikasikan itu hanyalah terletak pada jumlah dan keadaan penduduk yang beragama Islam atau tidak, seperti dipaparkan oleh Mujar Ibnu Syarif[2] dalam karyanya Hak-Hak Politik Minoritas, ia mengklasifikasikan Negara Islam itu dengan merujuk pada posisi warga Negaranya, yaitu terbagi pada Negara darul islam, Darul Harbi dan Dal-Al-Ahd atau Dal-Al Sulhi .



1. Darul Islam (Negara Islam).

            Kebanyakan para ulama mendefinisikan Darul Islam sebagai negara yang menerapkan hukum-hukum Islam dan diperintah oleh penguasa muslim

Imam Al Buijarimi As Syafi'i menyebutkan bahwa "darul Islam" adalah negeri yang ditempati kaum muslimin sekalipun di dalamnya ada orang Kafir Dzimmi (ahlu dzimmah), atau negeri yang dibebaskan dan ditundukkan oleh kaum muslimin, atau dulu pernah dihuni kaum muslimin kemudian dikuasai oleh kaum kafir (lihat Hasyiyah Al Buijarimi Juz 4 hal 220).

Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negara tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah Daarul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah ; Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” [Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim, cet. Daarul Ilmi lil malayiin, 1983 M].

Dalam hal ini perlu dijernihkan perbedaan antara negara Islam (Darul Islam) dan negeri Islam (Balad Islami). Negeri Islam adalah negeri yang status tanahnya 'usyriyah maupun kharajiyah, baik pernah berada di dalam wilayah khilafah Islamiyah maupun hanya sekedar pemerintahan Islam belaka, alias sultan Islam yang belum bergabung dengan khilafah, seperti kesultanan Islam di Indonesia pada masa lalu. Sedangkan Negara Islam adalah negara yang sistem keamanan negara itu dijamin secara mandiri oleh kaum muslimin (tanpa campur tangan kekuatan militer dan politik asing) dan di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam.

Dari ketiga pendapat di atas tersimpul sikap yang sama yang harus diambil kaum muslimin yaitu, menjadikannya negeri yang harus dibebaskan dari kekuasaan belenggu kekufuran[3].

2. Darul Harb

Persoalan menjadi rumit setelah sejumlah negeri Islam dikuasai oleh orang-orang kafir dan terpaksa ditinggalkan oleh kaum muslimin --seperti Andalusia (Spanyol), Macedonia, Balkan,Yugoslavia, Palestina, India, dan lain-lain. Apakah negeri-negeri tersebut statusnya masih milik kaum muslimin ataukah tidak? Jika benar, sejauh mana kewajiban kaum muslimin mengambilnya kembali?

Mengenai hukum sebagian wilayah dunia Islam yang kehilangan kedaulatan Islam di sana, para fuqaha berbeda pendapat. Pertama, Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf menyebutkan bahwa negeri-negeri Islam yang kehilangan kedaulatan itu menjadi hilang sifat keislamannya dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari wilayah dunia Islam.

Kedua, menurut Abu Hanifah negeri tersebut berubah statusnya menjadi negeri yang harus diperangi (darul harb) jika memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) sistem keamanan di negeri itu dikontrol oleh orang-orang kafir, (2) tampilnya hukum-hukum kufur diberlakukan di sana menggantikan posisi hukum Islam, dan (3) negeri itu telah bersambungan dengan negeri kufur dan susah dijangkau kaum muslimin. Ketiga, pendapat sebagian ulama madzhab Syafi'i bahwa negeri Islam yang telah dikuasai oleh orang-orang kafir tidak hilang sifatnya sebagai negeri Islam.

Para ulama tidak menjadikan syarat-syarat yang disebutkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai standar penamaan sebuah Daarul Islam, bahkan kedua murid senior beliaupun, Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, turut menyelisihi pendapat beliau, sebagaimana disebutkan oleh Imam As Sarkhasi. Hal ini juga disebutkan oleh Imam ‘Alau-din Al Kasani, di mana beliau menyebutkan alasan kedua murid senior Imam Abu Hanifah dengan mengatakan,” Sesungguhnya setiap negara itu dinisbahkan kepada Islam atau kekafiran. Sebuah negara hanya dinisbahkan kepada Islam jika hukum-hukum yang diberlakukan di negara tersebut adalah hukum-hukum Islam. Sebaliknya[4],

3.Dal-Al-Ahd

Daarul ‘Ahdi yaitu negeri yang antara ia dengan negara Islam ada ikatan perjanjian (dengan syarat kompensasi yang diserahkan kepada negara Islam). Pengertian lain Darul ‘Ahd ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan Darul Islam bahwa mereka tidak akan memerangi Darul Islam dan akan membayar jizyah selama keamanan mereka dijamin oleh Darul Islam penjanjian damai atau perjanjian gencatan senjata sebagaimana Mekkah pada tempo antara masa Perjanjian Hudaybiyah sampai Fathu Makkah (6-8H). Dan tidak boleh melakukan perjanjian kepada kuffar untuk damai dan tidak melakukan peperangan melainkan atas dasar melihat kemaslahatan kaum muslimin seperti misalnya kaum muslimin lemah berdasarkan firman Allah Ta’ala : “janganlah kalian merasa lemah dan mengajak damai padahal kalianlah yang paling tinggi (QS Muhammad : 35)

Hal itu disebabkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kita memerangi Kuffar hingga seluruh Diin hanyalah milik Allah dan Dia tidak mewajibkan kita untuk memberikan perdamaian atau perjanjian kepada mereka kecuali saat kita memerlukannya. Allah Ta’ala berfirman “maka bunuhlah orang -orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka (QS At-taubah :5). Dan Allah Ta’ala berfirman :  “Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan Diin seluruhnya milik Allah (QS Al-anfal 39)[5]



4.Dal-Al Sulhi

kata asalnya As-sulhi adalah perdamaian, maka Dar-Al Sulhi adalah Negara nonmuslim yang terikat perjanjian damai dengan Negara islam. dicontohkan ketika Rasulullah memimpin Madinah terjadilah traktat antara kaum Yahudi dan kaum muslimin yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah dan perjanjian Aqabah

Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab mempunyai misi samawi.

Terkadang muncul istilah istilah khusus tentang pembagian negara Islam secara parsial pada kitab-kitab Ulama seperti :

1. Daarul Baghyi yakni negeri yang mana sebuah kelompok bughat (pemberontak) atau khawarij menyendiri pada suatu wilayah di dalam negara Islam dan mereka independen menjalankan hukum-hukum di sana. kebalikan dari darul baghyi ini adalah Daarul Adl suatu negeri yang berada dibawah kekuasaan Imam kaum muslimin.

2. Daarul Fusqy yakni manakala kefasikan merata di suatu wilayah dalam negara Islam. Berkata Syaukani: “Ja’far bin Mubasy-syir serta sebagian kalangan Hadawiyah berpendapat akan wajibnya hijrah dari Daarul Fusqy (negeri penuh kefasikan) dengan menqiyaskan kepada negara kafir. Padahal ini merupakan qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Maka yang benar adalah tidak wajibnya hijrah dari Daarul fusqy sebab ia tetap sebagai Negara Islam (Naiul Author 8/179)

Saya katakan: akan tetapi dianjurkan meninggalkan negeri yang banyak tersebar di dalamnya kemaksiatan sebagaimana pada hadits tentang pembunuh seratus orang. Dalam hadits tersebut, orang itu diberi tahu oleh orang alim tentang upaya yang membantunya untuk taubat adalah berpindah dari negerinya yang telah ia sifatkan sebagai negeri yang buruk dan supaya ia pergi ke negeri yang terdapat di sana orang-orang saleh yang bersama mereka ia dapat beribadah kepada Allah.

3. Daar Ahli Dzimmah yaitu negeri yang bukan Daarul ‘Ahdi atau Daarul Sulhi (negara yang mengikat perjanjian damai dengan Daulah Islamiyah) yang keduanya termasuk bagian dari negara kafir. Adapun Daar Ahli Dzimmah maka ia adalah negara Islam sebagaimana Khaibar setelah ditaklukkan kaum Muslimin pada masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Sifat Daar Ahli Dzimmah adalah sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Hasan Rahimahullah ;”Jika amir pasukan mengepung penduduk salah satu kota musuh lalu sebagian mereka menyatakan kami menyerah dan yang lain menyatakan kami menjadi ahli Dzimmah dan tetap berada ditempat tinggal kami. Jika kaum muslimin mampu menjadikan bersama mereka orang yang mampu memerangi Ahlul Harb yang ada pada mereka dan memberlakukan pada mereka hukum Islam maka amir tersebut harus melakukannya”. Berkata pensyarah Sarkhasyi : “Sebab memberlakukan hukum-hukum kaum muslimin di negeri mereka (Kafir) masih bisa dan negeri tersebut menjadi negeri kaum muslimin lewat pemberlakuan hukum-hukum kaum muslimin. Maka Imam menjadikannya sebagai negara Islam dan penduduknya sebagai ahlu Dzimmah, (Sair Kabiir 5/2196-2197). Demikian penjelasannya. Maksud penyebutan bagian - bagian ini adalah dalam rangka mengenalkan pada pelajar jika mereka mau membacanya pada kitab-kitab yang mu’tabar[6].

KLASIFIKASI WARGA NEGARA

                        Untuk ini telah dirumuskan tentang klasifikasi masyarakat yang hidup dalam suatu Negara, pendapat Mujar dalam hal ini menggolongkan pada warga Negara Muslim, Zimmy, Musta’min dan penggunaan istilah untuk nonmuslim itu sudah menjadi tidak relevan lagi untuk kehidupan yang plural sekarang ini karena ini mengedepankan asas persamaan, dan untuk menghilangkan diskriminasi.

                        Adapun menurut A. Rahman I doi ada tiga kategori nonmuslim

1. Kaum Zimmy yang mengakui Negara Islam atau terikat perjanjian

2. Kaum Zimmy yang ditaklukkan

3.Orang nonmuslim yang tinggal di Negara Islam dan menjadi warga Negara

4.Orang nonmuslim yang tinggaldi Negara Islam untuk sementara

5.Penduduk asing yang memilih dengan suka rela hidup diwilayah Negara Islam

Melihat hal ini kiat yang berbicara masalah perdamaian dan kerukunan antar umat beragama, nonmuslim yang hidup bukan sebagai parasit yang merugikan atau tidak bermaksud untuk memerangi kaum muslim, maka dalam hal ini umat Islam wajib berlaku naik dan adil terhadap orang nonmuslim seperti yang dicontohkan Rasul dalam perjanjian Hudaibiyah dan piagam Madinah, yang mana pada piagam Madinah itu dibuat bukan hanya untuk memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat muslim saja, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat nonmuslim, piagam itu menjadi tujuan utama beliau untuk mempersatukan penduduk madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen, yang menjamin hak kelompok sosial dengan memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum sosial dan politik sehingga ia dapat diterima oleh semua pihak termasuk kaum Yahudi[7].



DAFTAR PUSTAKA



Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Dalam Komunitas Islam

Jakrta : Angkasa Bandung, 2003



Suyuti pulungan yang mengutip pandapat Hasan Ibrahim Hasan dalam karyanya, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al qursosialan, Jakarta : Grafindo persada, 1994

Oleh:
Very Nur Septian         C31206011





[1] http://langitan.net/?p=126

[2] Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Dalam Komunitas Islam
(Jakrta : Angkasa Bandung, 2003), hal 33

[3] http://www.angelfire.com/de/assalam/assalam040.html

[4] http://abahzacky.wordpress.com/2007/08/02/antara-negara-islam-dan-negara-kufur

[5] http://abahzacky.wordpress.com/2007/08/02/antara-negara-islam-dan-negara-kufur


[7] Suyuti pulungan yang mengutip pandapat Hasan Ibrahim Hasan dalam karyanya, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al qursosialan, (Jakarta : Grafindo persada, 1994) ops, cit 97









1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus